Tulisan ini dimunculkan dengan tujuan untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas dalam masyarakat. Sesungguhnya penulis sendiri adalah manusia yang memiliki banyak kekurangan. Jika ada salah kata dan penjelasan dalam tulisan ini, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Jika melihat dari definisi kata, ‘politik’ dan ‘agama’ sebenarnya memiliki
posisi yang saling bertolak belakang. Walaupun terdapat juga beberapa
persilangan antara kedua kata tersebut. Persilangan yang dimaksud pada akhirnya
menghasilkan kalimat ‘politik agama’.
Politik, kata tersebut kerap dianggap masyarakat sebagai hal yang kotor,
membingungkan, dan korupsi—dalam konteks Indonesia. Sedangkan agama dipandang
sebagian masyarakat sebagai sebuah hal yang hakiki dan suci. Jika digabungkan,
kedua kata tersebut jelas akan menimbulkan suatu ke-rancu-an. Politik agama
dapat dikatakan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia, untuk dapat
menodai kesucian agama.
Mengapa penentuan awal dan akhir Ramadhan sarat akan kepentingan politik ?
Memang jika dilihat dari sejarahnya, perbedaan dalam menentukan awal dan akhir
bulan Ramadhan biasa terjadi di kalangan umat muslim. Dalam perjalanannya,
terdapat dua metode yang biasa digunakan umat muslim dalam menentukan awal dan
akhir bulan Ramadhan. Metode Hisab dan Rukyat jelas bukan istilah asing lagi
bagi kita.
Hisab merupakan perhitungan matematis (algoritma) dari pergerakan benda
langit khususnya Bulan dan Matahari (astronomi).[1]
Sedangkan Rukyat merupakan observasi benda langit khususnya Bulan dan Matahari
secara sistematis sehingga menghasilkan data-data posisi yang bisa
diperbandingkan dengan observasi sebelum atau sesudahnya.[2] Kedua
metode tersebut sifatnya saling mengisi satu sama lain. Dengan kata lain,
sebenarnya antara Hisab dan Rukyat terdapat persamaan diatas perbedaan kedua
metode tersebut.
Di negara Indonesia perbedaan dalam memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan
hampir terjadi setiap tahunnya. Perbedaan biasa muncul antara jadwal yang
dikeluarkan oleh negara (dalam hal ini, wewenang dipegang oleh kementerian
agama) dan jadwal dari ormas-ormas yang ada (seperti MU dan beberapa aliran Islam
lain di Indonesia). Sekilas, hal tersebut terlihat wajar—mengingat adanya
perbedaan metode yang digunakan oleh pihak-pihak terkait. Namun, perbedaan
tersebut terlihat tidak wajar ketika nuansa politik kental mewarnai penentuan
bulan Ramadhan bagi umat muslim di Indonesia.
Politisasi terhadap penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan di Indonesia terlihat
jika kita mengikuti perkembangan fenomena tersebut setiap tahunnya. Penerapan
metode Rukyat yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya berbeda dengan metode
Hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah (salah satu ormas Islam besar di
Indonesia). Namun, kerap kali masyarakat mengetahui hasil Rukyat yang akan
dilakukan pemerintah beberapa hari sebelum Rukyat itu sendiri dilakukan. Terdapat
kesan bahwa penentuan jatuhnya awal dan akhir Ramadhan oleh pemerintah memang
sudah direncanakan hasilnya sejak jauh hari, sebelum Rukyat dilakukan.
Kesan politisasi tersebut tidak muncul tanpa adanya bukti yang mendukung.
Salah seorang pegawai kementerian agama yang berdomisili di Jakarta Selatan,
sebut saja N (nama sebenarnya dirahasiakan) membenarkan politisasi tersebut. Disebutkan
olehnya bahwa, setiap tahunnya rapat dan hasil rapat pemerintah untuk membahas
jatuhnya awal dan akhir Ramadhan telah dirancang sebelum hari pelaksanaan
rapat. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika masyarakat di lokasi N tinggal mengetahui
perayaan hari raya Idul Fitri tahun ini dilakukan dalam waktu bersamaan,
sebelum hasil sidang Rukyat dilakukan.
Politisasi agama tidak hanya terjadi dalam ranah penentuan awal dan akhir
Ramadhan saja. Pemerintah juga turut andil dalam penyelenggaraan ibadah haji bagi
umat muslim setiap tahunnya. Sebenarnya, niatan pemerintah untuk turut andil
dalam penyelenggaraan haji setiap tahunnya sudah cukup baik. Sebagai pelayan
masyarakat, sudah sewajarnya jika pemerintah ikut mendampingi dan menjamin
setiap warga negara yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah Mekkah.
Dasar hukum untuk penyelenggaraan haji sendiri ada dalam UU No. 13 Tahun
2008. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa “pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan
Ibadah Haji, Akomodasi, Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan
hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.”
Niat baik pemerintah tersebut tetapi belum mampu diikuti dengan
implementasi yang sempurna di lapangan. Dalam hal pengaturan Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) misalnya, beberapa tahun ini tren kenaikan
ongkos selalu terjadi. BPIH tersebut berlaku bagi para jemaat yang hendak
menunaikan ibadah haji melalui kuota yang disediakan oleh negara. Untuk tahun
2012 ini BPIH yang harus dibayarkan oleh para calon jemaat haji mengalami
kenaikan sekitar 10% dari BPIH tahun 2011. Kenaikan BPIH tersebut jelas semakin
menambah beban rakyat Indonesia yang hendak berangkat ke tanah suci.
Seharusnya, pemerintah dapat memanfaatkan dan mengatur alokasi anggaran
untuk penyelenggaraan haji secara baik, agar kenaikan tidak terjadi tiap
tahunnya. Jika memang tidak mampu untuk mengatur besaran BPIH yang dapat
dijangkau, sebaiknya penyelenggaraan haji tidak sepenuhnya dikuasai oleh
negara. Toh, belum tentu para calon
jemaat akan mengeluarkan biaya yang begitu besar, jika menunaikan ibadah haji
tanpa ikut kloter pemerintah.
Sebenarnya, akar masalah munculnya politisasi agama di Indonesia disebabkan
oleh kaburnya batas-batas antara politik dan agama di negara ini. Kedua hal
tersebut secara liar dileburkan. Salah satu bukti dari adanya peleburan
tersebut adalah, bertahannya kementerian agama sebagai salah satu bagian
pemerintahan yang mengatur permasalahan agama di Indonesia.
Kementerian agama sendiri sudah ada sejak Kabinet Presidensiil, kabinet
pertama negara Indonesia, dibentuk. Menteri agama pertama saat itu adalah K.H.
Wahid Hasyim. Sejak saat itu, hingga kini keberadaan kementerian agama selalu
disertakan pada setiap rezim yang berkuasa. Menurut penulis, keberadaan kementerian
agama dalam roda pemerintahan di Indonesia sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Ada beberapa alasan mengapa penulis memiliki argumen seperti itu.
1.
Visi dan Misi
Ø
Visi[3]
“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN, CERDAS,
MANDIRI DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN.”
Ø
Misi[4]
a)
Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
b)
Meningkatkan kualitas kerukunan umat
beragama.
c)
Meningkatkan kualitas raudhatul athfal,
madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
d)
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan
ibadah haji.
e)
Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang
bersih dan berwibawa.
Dari penjabaran visi-misi tersebut, kita dapat melihat bagaimana arah kerja
kementerian agama di rezim pemerintahan saat ini. Ketidakjelasan visi-misi
kementerian agama pada akhirnya berujung pada tidak maksimalnya kinerja
kementerian tersebut. Bahkan, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
bersih dan berwibawa saja kementerian agama tidak mampu untuk mewujudkannya.
Padahal, kementerian ini lahir sejak negara ini merdeka.
2.
Korupsi
Kementerian agama menduduki peringkat nomor 8 dalam daftar kementerian yang
rawan korupsi, berdasarkan audit BPK dari tahun 2009-2011.[5] Hal
tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia semakin menjalar ke segala
penjuru saat ini. Hasil audit BPK tersebut belum memasukan temuan baru KPK di
triwulan kedua tahun ini. Dimana hasil temuan KPK adalah, adanya korupsi
pengadaan Alquran oleh staff kementerian agama. Suatu hal yang penulis anggap
memalukan, karena ternyata pengadaan kitab suci pun tidak lepas dari praktik
korupsi dalam kenyataannya.
Informasi mengenai korupsi pengadaan Alquran tersebut dapat dengan mudah
dijumpai di dunia maya. Disini, penulis hanya ingin menekankan fakta yang ada,
bahwa kementerian agama bukanlah kementerian yang bebas dari masalah korupsi.
Padahal, salah satu misi kementerian agama adalah “Mewujudkan tata kelola
kepemerintahan yang bersih dan berwibawa”. Jika di dalam dirinya sendiri
pengelolaan keuangan belum berjalan baik, bagaimana caranya untuk mewujudkan
pengelolaan yang baik di tubuh kementerian lain ?
3.
Ranah Kerja Kementerian
Kementerian agama hingga saat ini belum memiliki ranah kerja yang jelas
dalam kesehariannya. Praktis, hanya urusan mengenai awal Ramadhan dan ibadah
haji saja yang dapat dilihat oleh masyarakat sebagai urusan kementerian ini. Seharusnya
kementerian agama, sesuai namanya, mampu mengatur segala permasalahan yang
mengatur agama-agama di Indonesia. Namun, pertanyaan baru kemudian muncul ke
permukaan. Bagaimana caranya mengatur agama, yang notabene-nya adalah sesuatu
yang mengatur manusia ?
Ketidakjelasan ranah kerja tersebut semakin memperkuat argumen penulis yang
menyatakan bahwa, keberadaan kementerian agama tidak terlalu dibutuhkan di
negara ini. Urusan agama memang tidak dapat sepenuhnya diatur oleh manusia.
Karena pada dasarnya agama lahir justru untuk mengatur manusia. Manusia memang
dapat berupaya untuk menjadi penengah konflik antara dua umat beragama yang
berbeda. Namun, hal tersebut dapat dilakukan tanpa adanya kehadiran kementerian
agama di tengah-tengah masyarakat.
Ranah kerja kementerian agama pun dapat dilimpahkan kepada
kementerian-kementerian lainnya. Urusan haji dapat dilimpahkan kepada kemenlu.
Sedangkan urusan menjaga keharmonisan warga, penentuan awal dan akhir Ramadhan,
serta penciptaan tata kelola pemerintahan yang berwibawa, dapat dilakukan
dengan kerjasama antara kemendagri-aparat keamanan-masyarakat.
4.
Politisasi Jabatan Menteri
Walaupun tidak ada bukti yang kuat untuk menjelaskan hal ini, namun kita
dapat melacak secara runut sejarah individu-individu yang pernah menjabat
sebagai menteri agama di negara ini. Sejak kabinet presidensiil, tercatat ada
20 orang yang pernah menjabat sebagai menteri agama di Indonesia.[6] Dari jumlah
tersebut, dominasi penguasaan jabatan menteri agama dikuasai oleh utusan NU dan
beberapa utusan partai politik.
Ada kesan bahwa pengisian jabatan menteri agama memang disediakan oleh
pemerintah untuk dinikmati oleh kalangan NU. Apalagi, sejak rezim orde baru
runtuh, pengisian jabatan menteri agama kuat didominasi oleh utusan dari
kalangan NU. Hal tersebut jelas membutuhkan penelitian dan observasi yang lebih
jauh lagi untuk dibuktikan kebenarannya. Namun, satu hal yang pasti adalah, keberadaan
kementerian agama akan semakin membuka peluang adanya politik transaksional
antara pemerintah dengan organisasi masyarakat tertentu.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya potensi politisasi agama,
sebaiknya jabatan kementerian agama ditiadakan. Berbagai macam keburukan yang
ada dalam dunia politik semakin lama semakin melebur dengan kesucian agama itu
sendiri. Akibatnya, kesucian agama lambat laun akan semakin dilupakan.
Keburukan yang ada dalam dunia politik akan semakin ‘liar’ berjalan. Sudah seharusnya
agama dan politik dipisahkan. Karena memang, menurut kodratnya, kedua hal tersebut
tidak baik untuk disatukan dalam koridor yang salah.
[1] Dikutip
dari <http://ariefew.com/umum/awal-puasa-dan-lebaran-beda-hisab-vs-rukyat/>
pada 24/08/12 pukul 06.14 WIB
[2] Ibid.
[3] Dikutip
dari < http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=visimisi>
pada 24/08/2012 pukul 15.50 WIB
[4] Ibid.
[5] Dikutip
dari < http://www.depdagri.go.id/news/2012/07/16/10-kementerian-rawan-korupsi-berdasar-audit-bpk-kejagung-nomor-satu>
pada 24/08/2012 pukul 16.22 WIB
[6] Data
dilihat di < http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Menteri_Agama_Indonesia>
Pada 24/08/12 Pukul 16.33 WIB.
No comments:
Post a Comment