24 August 2012

Politik Agama



Tulisan ini dimunculkan dengan tujuan untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas dalam masyarakat. Sesungguhnya penulis sendiri adalah manusia yang memiliki banyak kekurangan. Jika ada salah kata dan penjelasan dalam tulisan ini, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Jika melihat dari definisi kata, ‘politik’ dan ‘agama’ sebenarnya memiliki posisi yang saling bertolak belakang. Walaupun terdapat juga beberapa persilangan antara kedua kata tersebut. Persilangan yang dimaksud pada akhirnya menghasilkan kalimat ‘politik agama’.
Politik, kata tersebut kerap dianggap masyarakat sebagai hal yang kotor, membingungkan, dan korupsi—dalam konteks Indonesia. Sedangkan agama dipandang sebagian masyarakat sebagai sebuah hal yang hakiki dan suci. Jika digabungkan, kedua kata tersebut jelas akan menimbulkan suatu ke-rancu-an. Politik agama dapat dikatakan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia, untuk dapat menodai kesucian agama.
Penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan setiap tahunnya menjadi contoh dari adanya politik agama tersebut. Penulis sengaja mengambil contoh dari penentuan awal dan akhir Ramadhan, karena hampir dapat dipastikan setiap tahunnya terjadi kehebohan dalam menentukan permulaan bulan Ramadhan, dan permulaan bulan Syawal di negara ini. Suatu hal yang penulis anggap sarat akan kepentingan politik.
Mengapa penentuan awal dan akhir Ramadhan sarat akan kepentingan politik ? Memang jika dilihat dari sejarahnya, perbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan biasa terjadi di kalangan umat muslim. Dalam perjalanannya, terdapat dua metode yang biasa digunakan umat muslim dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Metode Hisab dan Rukyat jelas bukan istilah asing lagi bagi kita.
Hisab merupakan perhitungan matematis (algoritma) dari pergerakan benda langit khususnya Bulan dan Matahari (astronomi).[1] Sedangkan Rukyat merupakan observasi benda langit khususnya Bulan dan Matahari secara sistematis sehingga menghasilkan data-data posisi yang bisa diperbandingkan dengan observasi sebelum atau sesudahnya.[2] Kedua metode tersebut sifatnya saling mengisi satu sama lain. Dengan kata lain, sebenarnya antara Hisab dan Rukyat terdapat persamaan diatas perbedaan kedua metode tersebut.
Di negara Indonesia perbedaan dalam memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan hampir terjadi setiap tahunnya. Perbedaan biasa muncul antara jadwal yang dikeluarkan oleh negara (dalam hal ini, wewenang dipegang oleh kementerian agama) dan jadwal dari ormas-ormas yang ada (seperti MU dan beberapa aliran Islam lain di Indonesia). Sekilas, hal tersebut terlihat wajar—mengingat adanya perbedaan metode yang digunakan oleh pihak-pihak terkait. Namun, perbedaan tersebut terlihat tidak wajar ketika nuansa politik kental mewarnai penentuan bulan Ramadhan bagi umat muslim di Indonesia.
Politisasi terhadap penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan di Indonesia terlihat jika kita mengikuti perkembangan fenomena tersebut setiap tahunnya. Penerapan metode Rukyat yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya berbeda dengan metode Hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah (salah satu ormas Islam besar di Indonesia). Namun, kerap kali masyarakat mengetahui hasil Rukyat yang akan dilakukan pemerintah beberapa hari sebelum Rukyat itu sendiri dilakukan. Terdapat kesan bahwa penentuan jatuhnya awal dan akhir Ramadhan oleh pemerintah memang sudah direncanakan hasilnya sejak jauh hari, sebelum Rukyat dilakukan.
Kesan politisasi tersebut tidak muncul tanpa adanya bukti yang mendukung. Salah seorang pegawai kementerian agama yang berdomisili di Jakarta Selatan, sebut saja N (nama sebenarnya dirahasiakan) membenarkan politisasi tersebut. Disebutkan olehnya bahwa, setiap tahunnya rapat dan hasil rapat pemerintah untuk membahas jatuhnya awal dan akhir Ramadhan telah dirancang sebelum hari pelaksanaan rapat. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika masyarakat di lokasi N tinggal mengetahui perayaan hari raya Idul Fitri tahun ini dilakukan dalam waktu bersamaan, sebelum hasil sidang Rukyat dilakukan.
Politisasi agama tidak hanya terjadi dalam ranah penentuan awal dan akhir Ramadhan saja. Pemerintah juga turut andil dalam penyelenggaraan ibadah haji bagi umat muslim setiap tahunnya. Sebenarnya, niatan pemerintah untuk turut andil dalam penyelenggaraan haji setiap tahunnya sudah cukup baik. Sebagai pelayan masyarakat, sudah sewajarnya jika pemerintah ikut mendampingi dan menjamin setiap warga negara yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah Mekkah.
Dasar hukum untuk penyelenggaraan haji sendiri ada dalam UU No. 13 Tahun 2008. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa “pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi, Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.”
Niat baik pemerintah tersebut tetapi belum mampu diikuti dengan implementasi yang sempurna di lapangan. Dalam hal pengaturan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) misalnya, beberapa tahun ini tren kenaikan ongkos selalu terjadi. BPIH tersebut berlaku bagi para jemaat yang hendak menunaikan ibadah haji melalui kuota yang disediakan oleh negara. Untuk tahun 2012 ini BPIH yang harus dibayarkan oleh para calon jemaat haji mengalami kenaikan sekitar 10% dari BPIH tahun 2011. Kenaikan BPIH tersebut jelas semakin menambah beban rakyat Indonesia yang hendak berangkat ke tanah suci.
Seharusnya, pemerintah dapat memanfaatkan dan mengatur alokasi anggaran untuk penyelenggaraan haji secara baik, agar kenaikan tidak terjadi tiap tahunnya. Jika memang tidak mampu untuk mengatur besaran BPIH yang dapat dijangkau, sebaiknya penyelenggaraan haji tidak sepenuhnya dikuasai oleh negara. Toh, belum tentu para calon jemaat akan mengeluarkan biaya yang begitu besar, jika menunaikan ibadah haji tanpa ikut kloter pemerintah.
Sebenarnya, akar masalah munculnya politisasi agama di Indonesia disebabkan oleh kaburnya batas-batas antara politik dan agama di negara ini. Kedua hal tersebut secara liar dileburkan. Salah satu bukti dari adanya peleburan tersebut adalah, bertahannya kementerian agama sebagai salah satu bagian pemerintahan yang mengatur permasalahan agama di Indonesia.
Kementerian agama sendiri sudah ada sejak Kabinet Presidensiil, kabinet pertama negara Indonesia, dibentuk. Menteri agama pertama saat itu adalah K.H. Wahid Hasyim. Sejak saat itu, hingga kini keberadaan kementerian agama selalu disertakan pada setiap rezim yang berkuasa. Menurut penulis, keberadaan kementerian agama dalam roda pemerintahan di Indonesia sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ada beberapa alasan mengapa penulis memiliki argumen seperti itu.
1.      Visi dan Misi

Ø  Visi[3]
“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang TAAT BERAGAMA, RUKUN, CERDAS, MANDIRI DAN SEJAHTERA LAHIR BATIN.”
Ø  Misi[4]

a)      Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

b)      Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.

c)      Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.

d)     Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.

e)      Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Dari penjabaran visi-misi tersebut, kita dapat melihat bagaimana arah kerja kementerian agama di rezim pemerintahan saat ini. Ketidakjelasan visi-misi kementerian agama pada akhirnya berujung pada tidak maksimalnya kinerja kementerian tersebut. Bahkan, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa saja kementerian agama tidak mampu untuk mewujudkannya. Padahal, kementerian ini lahir sejak negara ini merdeka.
2.      Korupsi
Kementerian agama menduduki peringkat nomor 8 dalam daftar kementerian yang rawan korupsi, berdasarkan audit BPK dari tahun 2009-2011.[5] Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia semakin menjalar ke segala penjuru saat ini. Hasil audit BPK tersebut belum memasukan temuan baru KPK di triwulan kedua tahun ini. Dimana hasil temuan KPK adalah, adanya korupsi pengadaan Alquran oleh staff kementerian agama. Suatu hal yang penulis anggap memalukan, karena ternyata pengadaan kitab suci pun tidak lepas dari praktik korupsi dalam kenyataannya.
Informasi mengenai korupsi pengadaan Alquran tersebut dapat dengan mudah dijumpai di dunia maya. Disini, penulis hanya ingin menekankan fakta yang ada, bahwa kementerian agama bukanlah kementerian yang bebas dari masalah korupsi. Padahal, salah satu misi kementerian agama adalah “Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa”. Jika di dalam dirinya sendiri pengelolaan keuangan belum berjalan baik, bagaimana caranya untuk mewujudkan pengelolaan yang baik di tubuh kementerian lain ?
3.      Ranah Kerja Kementerian
Kementerian agama hingga saat ini belum memiliki ranah kerja yang jelas dalam kesehariannya. Praktis, hanya urusan mengenai awal Ramadhan dan ibadah haji saja yang dapat dilihat oleh masyarakat sebagai urusan kementerian ini. Seharusnya kementerian agama, sesuai namanya, mampu mengatur segala permasalahan yang mengatur agama-agama di Indonesia. Namun, pertanyaan baru kemudian muncul ke permukaan. Bagaimana caranya mengatur agama, yang notabene-nya adalah sesuatu yang mengatur manusia ?
Ketidakjelasan ranah kerja tersebut semakin memperkuat argumen penulis yang menyatakan bahwa, keberadaan kementerian agama tidak terlalu dibutuhkan di negara ini. Urusan agama memang tidak dapat sepenuhnya diatur oleh manusia. Karena pada dasarnya agama lahir justru untuk mengatur manusia. Manusia memang dapat berupaya untuk menjadi penengah konflik antara dua umat beragama yang berbeda. Namun, hal tersebut dapat dilakukan tanpa adanya kehadiran kementerian agama di tengah-tengah masyarakat.
Ranah kerja kementerian agama pun dapat dilimpahkan kepada kementerian-kementerian lainnya. Urusan haji dapat dilimpahkan kepada kemenlu. Sedangkan urusan menjaga keharmonisan warga, penentuan awal dan akhir Ramadhan, serta penciptaan tata kelola pemerintahan yang berwibawa, dapat dilakukan dengan kerjasama antara kemendagri-aparat keamanan-masyarakat.
4.      Politisasi Jabatan Menteri
Walaupun tidak ada bukti yang kuat untuk menjelaskan hal ini, namun kita dapat melacak secara runut sejarah individu-individu yang pernah menjabat sebagai menteri agama di negara ini. Sejak kabinet presidensiil, tercatat ada 20 orang yang pernah menjabat sebagai menteri agama di Indonesia.[6] Dari jumlah tersebut, dominasi penguasaan jabatan menteri agama dikuasai oleh utusan NU dan beberapa utusan partai politik.
Ada kesan bahwa pengisian jabatan menteri agama memang disediakan oleh pemerintah untuk dinikmati oleh kalangan NU. Apalagi, sejak rezim orde baru runtuh, pengisian jabatan menteri agama kuat didominasi oleh utusan dari kalangan NU. Hal tersebut jelas membutuhkan penelitian dan observasi yang lebih jauh lagi untuk dibuktikan kebenarannya. Namun, satu hal yang pasti adalah, keberadaan kementerian agama akan semakin membuka peluang adanya politik transaksional antara pemerintah dengan organisasi masyarakat tertentu.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya potensi politisasi agama, sebaiknya jabatan kementerian agama ditiadakan. Berbagai macam keburukan yang ada dalam dunia politik semakin lama semakin melebur dengan kesucian agama itu sendiri. Akibatnya, kesucian agama lambat laun akan semakin dilupakan. Keburukan yang ada dalam dunia politik akan semakin ‘liar’ berjalan. Sudah seharusnya agama dan politik dipisahkan. Karena memang, menurut kodratnya, kedua hal tersebut tidak baik untuk disatukan dalam koridor yang salah.



[2] Ibid.
[3] Dikutip dari < http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=visimisi> pada 24/08/2012 pukul 15.50 WIB
[4] Ibid.
[6] Data dilihat di < http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Menteri_Agama_Indonesia> Pada 24/08/12 Pukul 16.33 WIB.

No comments:

Post a Comment