08 February 2012

Meraba Orientasi Mahasiswa


Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini kembali memasuki masa-masa kegelapan dalam beberapa aspek. Jika dibandingkan dengan kondisi di era Orde Baru, dimana mahasiswa hidup ‘berdampingan’ dengan para intel yang berkeliaran di kampus, jelas saat ini kondisi sudah semakin baik adanya. Saat ini mahasiswa sudah tidak perlu khawatir lagi untuk memulai diskusi dan menuangkan tulisan ke dalam lembaran-lembaran kertas yang memuat kritikan terhadap penguasa. Penyebaran berbagai macam ideologi pun sudah dapat dilakukan dengan begitu bebasnya melalui berbagai macam media yang tersedia. Hal tersebut  tidak seperti di era Orba yang begitu ketat melarang masyarakat untuk mempelajari jenis-jenis ideologi di dunia, terkecuali ‘ideologi pembangunan’ dan pancasila yang sudah banyak disalah artikan pada masa itu.

Kemudian, dimana letak kemunduran kondisi pendidikan saat ini ? Jika kita hanya sebatas melihat pada aspek-aspek penjamin ketersediaan kebebasan dan fasilitas, memang saat ini sudah terjadi kemajuan yang sangat pesat dalam hal tersebut. Namun, jika kita palingkan pandangan pada aspek-aspek pemanfaatan kebebasan dan fasilitas tersebut, maka kita akan menemukan kondisi  yang memprihatinkan saat ini. Intensitas dan kualitas pendidikan semakin mengalami degradasi. Tujuan mahasiswa sebagai aktor yang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi saat ini mayoritas hanya semata untuk mendapatkan ijazah dengan muatan nilai-nilai bagus di dalamnya. Perlombaan untuk mendapatkan nilai bagus dengan jangka waktu studi yang singkat menjadi ciri khas dari kondisi mahasiswa saat ini. Esensi mahasiswa yang sudah menyandang gelar “maha” di depan kata “siswa” tersebut seakan makin pudar adanya. Semakin jarang bukan kita temui suasana diskusi cair yang bersubstansi di kalangan mahasiswa ? perubahan sosial yang terjadi karena campur tangan mahasiswa di dalamnya juga semakin jarang kita temui saat ini. Di lain sisi, semakin banyak mahasiswa yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian di bangku perkuliahan.


Jika kita mengacu pada kondisi dunia saat ini, dimana segala hal dituntut untuk dapat dilakukan dalam tempo waktu yang singkat dan serba cepat, maka tujuan mahasiswa mendapatkan nilai bagus dalam waktu relatif cepat dapat dimaklumi adanya. Persaingan di dalam berbagai hal saat ini sudah semakin keras derajatnya. Pendidikan yang semula ada dengan tujuan untuk mencerdaskan dan menyebarkan ilmu ke masyarakat, saat ini hanya menjadi alat untuk memenangkan persaingan tersebut. Secara lebih spesifik, alat tersebut dapat berupa ijazah beserta nilai-nilai didalamnya.

Ijazah yang diperoleh atas dasar keberhasilan pendidikan yang telah ditempuh, saat ini sudah tidak sekedar menjadi simbol semata. Justru ijazah saat ini menjadi suatu keberhasilan sendiri, dan didapatkan melalui berbagai macam cara yang dianggap halal oleh pemiliknya. Disini, tujuan pendidikan yang pada awalnya diselenggarakan untuk “ mencerdaskan kehidupan bangsa...” seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945, mengalami degradasi hingga hanya sebatas proses untuk menghasilkan para pekerja saja. Saat ini, hal terpenting hanyalah memenuhi kualitas dengan ukuran yang sudah ditetapkan diatas kertas, tanpa peduli apakah proses untuk mencapai kualitas terukur  tersebut benar atau tidak adanya.

Selain itu, tidak jarang juga kita temui kondisi dimana proses pendidikan dijalani tidak secara sukarela, namun didasari oleh paksaan yang berasal dari eksternal sang pelaku. Kondisi lingkungan yang menuntut agar pendidikan dilakukan secara cepat, berorientasi nilai, dan segera mendapat pekerjaan setelah itu, menjadi satu bentuk tekanan tersendiri bagi pihak yang menjalani pendidikan secara langsung. Alhasil, karena adanya berbagai macam tekanan tersebut maka kreatifitas dan kebebasan manusia untuk berkreasi serta berkembang tanpa harus dibatasi suatu nilai terukur menjadi hilang. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada berkurangnya derajat kemuliaan hidup manusia sebagai makhluk sosial.

Namun begitu, bukan berarti nilai-nilai terukur yang ada membawa keburukan tanpa menyisakan kebaikan bagi kehidupan ini. Hal tersebut tidak sepenuhnya buruk. Mahasiswa sebagai agent of change juga harus mampu beradaptasi dengan kondisi jaman tempat ia berada. Saat ini, mahasiswa berada di kondisi jaman yang menilai segalanya dengan ukuran-ukuran tertentu. Jaman yang semakin menuntut agar segala hal dilakukan secara cepat dan efisien. Tentu saja, dengan kesempatan yang didapat untuk merasakan pendidikan di perguruan tinggi sudah semestinya mahasiswa tidak hanya berorientasi terhadap nilai semata. Sebagai penyandang gelar “maha”, maka orientasi yang dimiliki pun harus lebih luas dan berguna. Tuntutan tersebut adalah sebuah beban tersendiri bagi mahasiswa, dan di satu sisi menjadi sebuah kelebihan jika dapat dimanfaatkan secara baik. Ironisnya, mayoritas mahasiswa tidak dapat keluar dari derasnya arus “kebutuhan akan nilai” seperti yang telah dijelaskan diatas. Semakin lama mahasiswa makin terbawa dan hanyut dalam arus tersebut, hingga akhirnya nilai dan ijazah benar-benar menjadi satu-satunya orientasi dari pendidikan yang dijalani.

Seharusnya, mahasiswa memiliki berbagai orientasi dan kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut sepanjang umurnya di dunia perguruan tinggi. Jika segala kegiatan dilakukan oleh mahasiswa hanya untuk satu tujuan yang dianggap mulia, yaitu nilai, maka sejatinya mahasiswa tengah membunuh karakter dirinya sendiri. Realistis, memang tidak mungkin kita menafikan keberadaan nilai akademik sebagai suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur prestasi mahasiswa saat ini. Namun, idealisme kita sebagai mahasiswa yang memiliki julukan sebagai agent of change dan memiliki ‘beban sosial’ untuk membantu masyarakat secara luas juga tidak dapat kita tinggalkan begitu saja. Keduanya juga tidak dapat berjalan terpisah satu sama lain. Mahasiswa cerdas adalah mereka yang mampu memanfaatkan kondisi yang ada dengan menggunakan idealismenya. Bukan mereka yang terbawa hanyut dengan kondisi yang ada, atau mereka yang terlalu idealis sehingga melupakan kenyataan disekitar.

(Dimuat juga dalam www.kompasiana.com)

No comments:

Post a Comment