Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini kembali
memasuki masa-masa kegelapan dalam beberapa aspek. Jika dibandingkan dengan
kondisi di era Orde Baru, dimana mahasiswa hidup ‘berdampingan’ dengan para
intel yang berkeliaran di kampus, jelas saat ini kondisi sudah semakin baik
adanya. Saat ini mahasiswa sudah tidak perlu khawatir lagi untuk memulai
diskusi dan menuangkan tulisan ke dalam lembaran-lembaran kertas yang memuat
kritikan terhadap penguasa. Penyebaran berbagai macam ideologi pun sudah dapat
dilakukan dengan begitu bebasnya melalui berbagai macam media yang tersedia.
Hal tersebut tidak seperti di era Orba
yang begitu ketat melarang masyarakat untuk mempelajari jenis-jenis ideologi di
dunia, terkecuali ‘ideologi pembangunan’ dan pancasila yang sudah banyak
disalah artikan pada masa itu.
Kemudian, dimana letak kemunduran kondisi pendidikan saat
ini ? Jika kita hanya sebatas melihat pada aspek-aspek penjamin ketersediaan
kebebasan dan fasilitas, memang saat ini sudah terjadi kemajuan yang sangat
pesat dalam hal tersebut. Namun, jika kita palingkan pandangan pada aspek-aspek
pemanfaatan kebebasan dan fasilitas tersebut, maka kita akan menemukan kondisi yang memprihatinkan saat ini. Intensitas dan
kualitas pendidikan semakin mengalami degradasi. Tujuan mahasiswa sebagai aktor
yang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi saat ini mayoritas hanya
semata untuk mendapatkan ijazah dengan muatan nilai-nilai bagus di dalamnya. Perlombaan
untuk mendapatkan nilai bagus dengan jangka waktu studi yang singkat menjadi
ciri khas dari kondisi mahasiswa saat ini. Esensi mahasiswa yang sudah
menyandang gelar “maha” di depan kata “siswa” tersebut seakan makin pudar
adanya. Semakin jarang bukan kita temui suasana diskusi cair yang bersubstansi
di kalangan mahasiswa ? perubahan sosial yang terjadi karena campur tangan
mahasiswa di dalamnya juga semakin jarang kita temui saat ini. Di lain sisi,
semakin banyak mahasiswa yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
nilai bagus dalam ujian di bangku perkuliahan.
Jika kita mengacu pada kondisi dunia saat ini, dimana segala
hal dituntut untuk dapat dilakukan dalam tempo waktu yang singkat dan serba
cepat, maka tujuan mahasiswa mendapatkan nilai bagus dalam waktu relatif cepat
dapat dimaklumi adanya. Persaingan di dalam berbagai hal saat ini sudah semakin
keras derajatnya. Pendidikan yang semula ada dengan tujuan untuk mencerdaskan
dan menyebarkan ilmu ke masyarakat, saat ini hanya menjadi alat untuk
memenangkan persaingan tersebut. Secara lebih spesifik, alat tersebut dapat
berupa ijazah beserta nilai-nilai didalamnya.
Ijazah yang diperoleh atas dasar keberhasilan pendidikan
yang telah ditempuh, saat ini sudah tidak sekedar menjadi simbol semata. Justru
ijazah saat ini menjadi suatu keberhasilan sendiri, dan didapatkan melalui
berbagai macam cara yang dianggap halal oleh pemiliknya. Disini, tujuan pendidikan
yang pada awalnya diselenggarakan untuk “
mencerdaskan kehidupan bangsa...” seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945,
mengalami degradasi hingga hanya sebatas proses untuk menghasilkan para pekerja
saja. Saat ini, hal terpenting hanyalah memenuhi kualitas dengan ukuran yang
sudah ditetapkan diatas kertas, tanpa peduli apakah proses untuk mencapai
kualitas terukur tersebut benar atau
tidak adanya.
Selain itu, tidak jarang juga kita temui kondisi dimana
proses pendidikan dijalani tidak secara sukarela, namun didasari oleh paksaan
yang berasal dari eksternal sang pelaku. Kondisi lingkungan yang menuntut agar
pendidikan dilakukan secara cepat, berorientasi nilai, dan segera mendapat
pekerjaan setelah itu, menjadi satu bentuk tekanan tersendiri bagi pihak yang
menjalani pendidikan secara langsung. Alhasil, karena adanya berbagai macam
tekanan tersebut maka kreatifitas dan kebebasan manusia untuk berkreasi serta
berkembang tanpa harus dibatasi suatu nilai terukur menjadi hilang. Hal
tersebut pada akhirnya berdampak pada berkurangnya derajat kemuliaan hidup
manusia sebagai makhluk sosial.
Namun begitu, bukan berarti nilai-nilai terukur yang ada
membawa keburukan tanpa menyisakan kebaikan bagi kehidupan ini. Hal tersebut
tidak sepenuhnya buruk. Mahasiswa sebagai agent
of change juga harus mampu beradaptasi dengan kondisi jaman tempat ia
berada. Saat ini, mahasiswa berada di kondisi jaman yang menilai segalanya
dengan ukuran-ukuran tertentu. Jaman yang semakin menuntut agar segala hal
dilakukan secara cepat dan efisien. Tentu saja, dengan kesempatan yang didapat
untuk merasakan pendidikan di perguruan tinggi sudah semestinya mahasiswa tidak
hanya berorientasi terhadap nilai semata. Sebagai penyandang gelar “maha”, maka
orientasi yang dimiliki pun harus lebih luas dan berguna. Tuntutan tersebut
adalah sebuah beban tersendiri bagi mahasiswa, dan di satu sisi menjadi sebuah
kelebihan jika dapat dimanfaatkan secara baik. Ironisnya, mayoritas mahasiswa
tidak dapat keluar dari derasnya arus “kebutuhan akan nilai” seperti yang telah
dijelaskan diatas. Semakin lama mahasiswa makin terbawa dan hanyut dalam arus
tersebut, hingga akhirnya nilai dan ijazah benar-benar menjadi satu-satunya
orientasi dari pendidikan yang dijalani.
Seharusnya, mahasiswa memiliki berbagai orientasi dan
kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut sepanjang umurnya di dunia perguruan
tinggi. Jika segala kegiatan dilakukan oleh mahasiswa hanya untuk satu tujuan
yang dianggap mulia, yaitu nilai, maka sejatinya mahasiswa tengah membunuh
karakter dirinya sendiri. Realistis, memang tidak mungkin kita menafikan
keberadaan nilai akademik sebagai suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur
prestasi mahasiswa saat ini. Namun, idealisme kita sebagai mahasiswa yang
memiliki julukan sebagai agent of change
dan memiliki ‘beban sosial’ untuk membantu masyarakat secara luas juga tidak
dapat kita tinggalkan begitu saja. Keduanya juga tidak dapat berjalan terpisah
satu sama lain. Mahasiswa cerdas adalah mereka yang mampu memanfaatkan kondisi
yang ada dengan menggunakan idealismenya. Bukan mereka yang terbawa hanyut
dengan kondisi yang ada, atau mereka yang terlalu idealis sehingga melupakan
kenyataan disekitar.
(Dimuat juga dalam www.kompasiana.com)
(Dimuat juga dalam www.kompasiana.com)
No comments:
Post a Comment