11 May 2012

Idealisme dan Realitas Mahasiswa Kontemporer[1]


Merdeka !!!

Istilah idealisme yang kerap dipergunakan oleh mahasiswa dalam menjelaskan arti dari “konsep kesempurnaan” ternyata tidak dapat dipahami dengan begitu mudahnya. Memang benar adanya jika idealisme memiliki arti yang sama dengan “kebenaran”, “kesempurnaan”, maupun “cita-cita”. Namun, ketika kata idealisme dilekatkan sejajar dengan mahasiswa, maka hal tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dalam hal pemaknaan arti gabungan kata tersebut. Cita-cita maupun konsep kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa juga hadir dalam setiap diri manusia. Secara garis besar, berbagai macam bentuk idealisme pada setiap diri manusia sebenarnya memiliki suatu nilai yang sama, hanya memang konsep pembentuknya yang berbeda-beda.

Ketika kita misalnya membicarakan sebuah materi yang disebut “kursi”, maka bayangan apa yang akan tercipta dalam imajinasi untuk menggambarkan benda tersebut ? Tidak ada jaminan akan adanya kesamaan antara konsep yang dimiliki oleh aktor A dengan apa yang dibayangkan oleh aktor B. Namun, perbedaan konsep tersebut tetap memiliki satu nilai bersama, yaitu kursi yang dapat digunakan untuk duduk, memiliki ‘kaki’, dan digunakan untuk mengurangi rasa lelah ketika manusia terlalu lama berdiri.

Contoh diatas dapat membantu kita dalam memahami makna dari kata idealisme itu sendiri. Sebuah cita-cita dan tujuan sempurna yang dimiliki oleh setiap manusia, tanpa terkecuali, menghadirkan adanya berbagai macam metode untuk mencapai idealitas tersebut. Realitas yang ada saat ini menyiratkan bahwa, ternyata idealisme dalam diri manusia tersebut masih nyata adanya. Kegiatan berpikir untuk mencapai suatu taraf hidup yang lebih baik – dengan ukuran taraf “hidup baik” yang berbeda-beda tentunya – merupakan sebuah nilai idealisme yang pasti dimiliki dan dijalani oleh setiap manusia. Jadi, idealisme yang dimiliki oleh mahasiswa dapat dikatakan merupakan hal yang juga dimiliki oleh setiap individu yang tidak termasuk golongan “mahasiswa”


Pemahaman terkait posisi mahasiswa yang hingga saat ini kerap disebut-sebut sebagai agent of change dalam kehidupan bermasyarakat jelas diperlukan. Pemberian label tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya.Perlu kita cermati lebih lanjut asal mula lahirnya anggapan mahasiswa sebagaiagent of change di dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, peran mahasiswa – atau pemuda dalam cakupan umum – mungkin sudah mulai terlihat jauh sebelum negara ini merdeka. Sebelum kemerdekaan, pemuda terbukti memiliki peran yang besar dalam hal mengusir penjajah dari tanah Indonesia. Saat itu jumlah pemuda yang menikmati sekolah memang tidak begitu banyak. Namun, ide persatuan yang dibawa oleh mereka pada tahun 1928, melalui sumpah pemuda, pada akhirnya menjadi satu moment berharga bagi terciptanya kesatuan gerak bangsa Indonesia saat itu.Jauh sebelum itu juga beberapa pemuda Hindia Belanda yang berkuliah di STOVIA telah mendirikan organisasi pemuda pertama di gugusan kepulauan ini, dengan nama Boedi Oetomo. Setelah itu, beberapa peristiwa penting di Indonesia tidak pernah lepas dari peran serta mahasiswa di dalamnya. Mulai dari peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 hingga demonstrasi besar-besaran untuk meruntuhkan orde baru pada tahun 1998 silam.

Terlepas dari ada atau tidaknya intervensi pihak non-mahasiswa di dalam setiap gerak tersebut, nilai penting yang dapat kita lihat adalah besarnya kewajiban individu penyandang status ‘mahasiswa’ dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, kesadaran akan peran yang seharusnya diemban oleh masing-masing mahasiswa hampir musnah adanya. Kecenderungan untuk lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan umum (bahkan kepentingan antar mahasiswa) sangat dapat kita lihat terjadi saat ini. Hal tersebut bukan sepenuhnya salah mahasiswa, bukan juga salah para aparatur negara dalam mengatur rakyatnya. Kesalahan terletak pada setiap manusia yang berada pada satu kesatuan wilayah negara Indonesia. Pemahaman akan hakikat hidup dan apa sebenarnya tujuan hidup yang ideal bagi manusia belum tercipta. Padahal, seperti apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, penting untuk mengingat dan memahami bentuk ideal apa yang kita, sebagai manusia, sebenarnya harapkan dalam kehidupan ini. Idealisme yang terbangun atas dasar peran kita sebagai manusia akan memiliki sifat yang tetap hingga kematian menjelang. Pandangan agent of change yang diberikan pun pada dasarnya lahir karena adanya anggapan bahwa para kaum terpelajar sudah seharusnya memberi kontribusi bagi rakyat yang belum memiliki pengetahuan luas tentang hidup. Bersama rakyat, para mahasiswa pun akan saling belajar untuk lebih memahami hidup. Hasil yang idealnya tercipta adalah, terbentuknya realita atas dasar pertemuan beberapa idealisme-idealisme yang ada.
Melihat pemaparan singkat diatas, dapat dikatakan bahwa pemahaman akan idealisme akan selalu penting untuk dimiliki setiap manusia. Sebagai manusia yang berkesempatan untuk merasakan pendidikan secara tidak sadar telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan mereka yang tidak dapat mengenyam pendidikan dalam bentuk formal. Ada keyakinan bahwa saat ini mahasiswa memiliki masing-masing idealismenya sendiri. Apapun bentukya, hal tersebut menjadi wajar terjadi karena fungsi pendidikan formal sejatinya adalah memperkenalkan berbagai macam idealisme pada peserta didik. Ketika idealisme sudah dimiliki, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemahaman terkait dengan pilihan tersebut. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban pertama yang harus dilakukan, sebelum nantinya tugas untuk membenturkan idealitas dengan realitas, yang menjadi kewajiban utama, dilakukan.

Saya yakin saat ini mahasiswa secara sadar maupun tidak sadar sudah memiliki idealismenya masing-masing. Pemahaman akan realitas yang terjadi juga sudah dimiliki. Namun, permasalahan yang muncul adalah tidak adanya keberanian dalam diri masing-masing mahasiswa untuk membenturkan idealisme dengan realitas yang ada. Idealisme yang sudah dimiliki terkesan hanya menjadi hal yang digunakan bagi mahasiswa untuk dapat ‘menaiki tangga sosial’. Tuntutan untuk menyelesaikan pendidikan dalam waktu singkat, kerja, dan mendapatkan penghasilan adalah realitas paling dekat yang dihadapi saat ini. Tidak ada salahnya jika waktu studi ditempuh dalam waktu singkat. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam waktu yang singkat tersebut pemahaman idealisme tidak sepenuhnya berjalan. Alhasil, idealisme yang sudah dimiliki saat menjadi mahasiswa menjadi luntur ketika status ‘mahasiswa’ itu sendiri sudah dilepas. Sifat intelektual mekanik seperti itu menjadi produk dari berjalannya sistem pendidikan saat ini. Seharusnya, sifat intelektual organik lah yang menjadi hasil dari segala tingkat pendidikan yang telah kita tempuh. Intelektual organik disini berarti mampu menentukan idealisme dan membenturkannya dengan realitas tempat dimana mahasiswa tersebut berada.

Untuk mahasiswa Indonesia, sudah sepantasnya benturan idealisme dengan realitas di negeri ini dilakukan. Sifat kerjasama yang harus dilakukan oleh para mahasiswa adalah menggabungkan berbagai idealisme yang berbeda-beda dalam menghadapi realitas. Idealisme yang berbeda-beda bukan berarti menjadi penghalang bagi terciptanya kerjasama. Justru perbedaan tersebut menjadi suautu kebutuhan, agar solusi dalam menghadapi realitas dapat diciptakan dari berbagai perspektif. Sekali lagi, saya tekankan bahwa kerjasama antar idealisme yang berbeda-beda itu penting adanya di negeri ini ! Latar belakang masyarakat Indonesia yang berbeda-beda saat ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah. Realita yang ada menunjukkan bahwa saat ini banyak permasalahan bersama yang menimpa Indonesia. Namun, tidak adanya persatuan dalam setiap perbedaan tersebut menyebabkan permasalahan yang ada tidak dapat diatasi segera.

Adanya peran mahasiswa di dalam perjuangan merebut kemerdekaan, saat mempertahankan kemerdekaan, mengawal pemerintahan orde lama dan orde baru, hingga reformasi menjadi bukti bahwa di masa lampau mahasiswa dapat bersatu dalam membenturkan idealismenya dengan realitas yang terjadi. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari runtutan sejarah tersebut. Terbukti, mahasiswa yang saat itu berjuang dalam merubah realitas ketika sudah ‘melepaskan’ status mahasiswanya dan masuk ke dalam sistem yang berlaku mengalami degradasi idealisme. Perlahan, idealisme mereka luntur. Hal yang terjadi berikutnya adalah gagalnya komitmen mereka untuk tetap teguh memegang idealisme yang mereka miliki saat memasuki realita yang sebenar-benarnya. Tantangan saat ini adalah, beranikah kita untuk melawan realita dengan tetap teguh mempertahankan idealisme masing-masing diri ?


[1] Disampaikan di “Latihan Kepemimpinan KOMAP, sesi : Seminar Membangun Idealisme Mahasiswa” pada Jumat, 4 Mei 2012 di Parangtritis, Bantul, Yogyakarta

No comments:

Post a Comment