Merdeka !!!
Istilah idealisme yang kerap dipergunakan oleh
mahasiswa dalam menjelaskan arti dari “konsep kesempurnaan” ternyata tidak
dapat dipahami dengan begitu mudahnya. Memang benar adanya jika idealisme
memiliki arti yang sama dengan “kebenaran”, “kesempurnaan”, maupun “cita-cita”.
Namun, ketika kata idealisme dilekatkan sejajar dengan mahasiswa, maka hal
tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dalam hal pemaknaan arti gabungan kata
tersebut. Cita-cita maupun konsep kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap
mahasiswa juga hadir dalam setiap diri manusia. Secara garis besar, berbagai
macam bentuk idealisme pada setiap diri manusia sebenarnya memiliki suatu nilai
yang sama, hanya memang konsep pembentuknya yang berbeda-beda.
Ketika kita misalnya membicarakan sebuah
materi yang disebut “kursi”, maka bayangan apa yang akan tercipta dalam
imajinasi untuk menggambarkan benda tersebut ? Tidak ada jaminan akan adanya
kesamaan antara konsep yang dimiliki oleh aktor A dengan apa yang dibayangkan
oleh aktor B. Namun, perbedaan konsep tersebut tetap memiliki satu nilai
bersama, yaitu kursi yang dapat digunakan untuk duduk, memiliki ‘kaki’, dan
digunakan untuk mengurangi rasa lelah ketika manusia terlalu lama berdiri.
Contoh diatas dapat membantu kita dalam
memahami makna dari kata idealisme itu sendiri. Sebuah cita-cita dan tujuan
sempurna yang dimiliki oleh setiap manusia, tanpa terkecuali, menghadirkan
adanya berbagai macam metode untuk mencapai idealitas tersebut. Realitas yang
ada saat ini menyiratkan bahwa, ternyata idealisme dalam diri manusia tersebut
masih nyata adanya. Kegiatan berpikir untuk mencapai suatu taraf hidup yang
lebih baik – dengan ukuran taraf “hidup baik” yang berbeda-beda tentunya –
merupakan sebuah nilai idealisme yang pasti dimiliki dan dijalani oleh setiap manusia.
Jadi, idealisme yang dimiliki oleh mahasiswa dapat dikatakan merupakan hal yang
juga dimiliki oleh setiap individu yang tidak termasuk golongan “mahasiswa”
Pemahaman terkait posisi mahasiswa yang hingga
saat ini kerap disebut-sebut sebagai agent
of change dalam kehidupan bermasyarakat jelas diperlukan. Pemberian label
tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya.Perlu kita cermati lebih lanjut
asal mula lahirnya anggapan mahasiswa sebagaiagent of change di dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, peran
mahasiswa – atau pemuda dalam cakupan umum – mungkin sudah mulai terlihat jauh
sebelum negara ini merdeka. Sebelum kemerdekaan, pemuda terbukti memiliki peran
yang besar dalam hal mengusir penjajah dari tanah Indonesia. Saat itu jumlah
pemuda yang menikmati sekolah memang tidak begitu banyak. Namun, ide persatuan
yang dibawa oleh mereka pada tahun 1928, melalui sumpah pemuda, pada akhirnya
menjadi satu moment berharga bagi terciptanya kesatuan gerak bangsa Indonesia saat
itu.Jauh sebelum itu juga beberapa pemuda Hindia Belanda yang berkuliah di
STOVIA telah mendirikan organisasi pemuda pertama di gugusan kepulauan ini,
dengan nama Boedi Oetomo. Setelah itu, beberapa peristiwa penting di Indonesia
tidak pernah lepas dari peran serta mahasiswa di dalamnya. Mulai dari peristiwa
Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 hingga demonstrasi besar-besaran untuk
meruntuhkan orde baru pada tahun 1998 silam.
Terlepas dari ada atau tidaknya intervensi
pihak non-mahasiswa di dalam setiap gerak tersebut, nilai penting yang dapat
kita lihat adalah besarnya kewajiban individu penyandang status ‘mahasiswa’
dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, kesadaran akan peran yang seharusnya
diemban oleh masing-masing mahasiswa hampir musnah adanya. Kecenderungan untuk
lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan umum
(bahkan kepentingan antar mahasiswa) sangat dapat kita lihat terjadi saat ini.
Hal tersebut bukan sepenuhnya salah mahasiswa, bukan juga salah para aparatur
negara dalam mengatur rakyatnya. Kesalahan terletak pada setiap manusia yang
berada pada satu kesatuan wilayah negara Indonesia. Pemahaman akan hakikat
hidup dan apa sebenarnya tujuan hidup yang ideal bagi manusia belum tercipta.
Padahal, seperti apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, penting untuk mengingat
dan memahami bentuk ideal apa yang kita, sebagai manusia, sebenarnya harapkan
dalam kehidupan ini. Idealisme yang terbangun atas dasar peran kita sebagai
manusia akan memiliki sifat yang tetap hingga kematian menjelang. Pandangan agent of change yang diberikan pun pada
dasarnya lahir karena adanya anggapan bahwa para kaum terpelajar sudah
seharusnya memberi kontribusi bagi rakyat yang belum memiliki pengetahuan luas
tentang hidup. Bersama rakyat, para mahasiswa pun akan saling belajar untuk
lebih memahami hidup. Hasil yang idealnya tercipta adalah, terbentuknya realita
atas dasar pertemuan beberapa idealisme-idealisme yang ada.
Melihat pemaparan singkat diatas, dapat
dikatakan bahwa pemahaman akan idealisme akan selalu penting untuk dimiliki
setiap manusia. Sebagai manusia yang berkesempatan untuk merasakan pendidikan
secara tidak sadar telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan mereka yang
tidak dapat mengenyam pendidikan dalam bentuk formal. Ada keyakinan bahwa saat
ini mahasiswa memiliki masing-masing idealismenya sendiri. Apapun bentukya, hal
tersebut menjadi wajar terjadi karena fungsi pendidikan formal sejatinya adalah
memperkenalkan berbagai macam idealisme pada peserta didik. Ketika idealisme
sudah dimiliki, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan
pemahaman terkait dengan pilihan tersebut. Hal tersebut merupakan suatu
kewajiban pertama yang harus dilakukan, sebelum nantinya tugas untuk
membenturkan idealitas dengan realitas, yang menjadi kewajiban utama,
dilakukan.
Saya yakin saat ini mahasiswa secara sadar
maupun tidak sadar sudah memiliki idealismenya masing-masing. Pemahaman akan
realitas yang terjadi juga sudah dimiliki. Namun, permasalahan yang muncul
adalah tidak adanya keberanian dalam diri masing-masing mahasiswa untuk membenturkan idealisme dengan realitas
yang ada. Idealisme yang sudah dimiliki terkesan hanya menjadi hal yang
digunakan bagi mahasiswa untuk dapat ‘menaiki tangga sosial’. Tuntutan untuk
menyelesaikan pendidikan dalam waktu singkat, kerja, dan mendapatkan
penghasilan adalah realitas paling dekat yang dihadapi saat ini. Tidak ada
salahnya jika waktu studi ditempuh dalam waktu singkat. Namun, yang menjadi
permasalahan adalah ketika dalam waktu yang singkat tersebut pemahaman
idealisme tidak sepenuhnya berjalan. Alhasil, idealisme yang sudah dimiliki
saat menjadi mahasiswa menjadi luntur ketika status ‘mahasiswa’ itu sendiri
sudah dilepas. Sifat intelektual mekanik seperti itu menjadi produk dari
berjalannya sistem pendidikan saat ini. Seharusnya, sifat intelektual organik
lah yang menjadi hasil dari segala tingkat pendidikan yang telah kita tempuh.
Intelektual organik disini berarti mampu menentukan idealisme dan
membenturkannya dengan realitas tempat dimana mahasiswa tersebut berada.
Untuk mahasiswa Indonesia, sudah sepantasnya
benturan idealisme dengan realitas di negeri ini dilakukan. Sifat kerjasama
yang harus dilakukan oleh para mahasiswa adalah menggabungkan berbagai
idealisme yang berbeda-beda dalam menghadapi realitas. Idealisme yang berbeda-beda
bukan berarti menjadi penghalang bagi terciptanya kerjasama. Justru perbedaan
tersebut menjadi suautu kebutuhan, agar solusi dalam menghadapi realitas dapat
diciptakan dari berbagai perspektif. Sekali lagi, saya tekankan bahwa kerjasama
antar idealisme yang berbeda-beda itu penting adanya di negeri ini ! Latar
belakang masyarakat Indonesia yang berbeda-beda saat ini seharusnya tidak lagi
menjadi masalah. Realita yang ada menunjukkan bahwa saat ini banyak
permasalahan bersama yang menimpa Indonesia. Namun, tidak adanya persatuan
dalam setiap perbedaan tersebut menyebabkan permasalahan yang ada tidak dapat
diatasi segera.
Adanya peran mahasiswa di dalam perjuangan
merebut kemerdekaan, saat mempertahankan kemerdekaan, mengawal pemerintahan
orde lama dan orde baru, hingga reformasi menjadi bukti bahwa di masa lampau
mahasiswa dapat bersatu dalam membenturkan idealismenya dengan realitas yang
terjadi. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari runtutan sejarah tersebut.
Terbukti, mahasiswa yang saat itu berjuang dalam merubah realitas ketika sudah
‘melepaskan’ status mahasiswanya dan masuk ke dalam sistem yang berlaku
mengalami degradasi idealisme. Perlahan, idealisme mereka luntur. Hal yang
terjadi berikutnya adalah gagalnya komitmen mereka untuk tetap teguh memegang
idealisme yang mereka miliki saat memasuki realita yang sebenar-benarnya.
Tantangan saat ini adalah, beranikah kita untuk melawan realita dengan tetap
teguh mempertahankan idealisme masing-masing diri ?
[1]
Disampaikan di “Latihan Kepemimpinan KOMAP, sesi : Seminar Membangun Idealisme
Mahasiswa” pada Jumat, 4 Mei 2012 di Parangtritis, Bantul, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment