Sebagai
negara yang berada di jalur khatulistiwa, Indonesia seharusnya mampu mencapai swasembada
pangan untuk digunakan demi kemakmuran bersama. Namun ternyata hingga saat ini
swasembada pangan masih jauh dari angan. Setiap tahun berjalan import
hasil-hasil pertanian, perkebunan dan perikanan selalu dilakukan oleh
pemerintah. Tanpa berpikir panjang, dengan senang hati pemerintah ‘memaksa’ rakyat
Indonesia untuk menikmati makanan yang bahan-bahannya berasal dari negara lain.
Keputusan
tersebut bukan tanpa alasan dilakukan oleh pemerintah. Alasan stok bahan
makanan yang tipis menjadi andalan bagi mereka untuk melakukan import. Namun,
seharusnya pemerintah dapat melihat penyebab utama menipisnya stok bahan
makanan untuk masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang menjadi penyebab
kelangkaan pangan tersebut adalah berkurangnya lahan pertanian dan perkebunan
di seluruh wilayah negara agraris ini. Degradasi lahan tersebut dapat dilihat
secara jelas adanya oleh seluruh kalangan. Alih fungsi sawah dan ladang menjadi
wilayah industri serta perumahan di beberapa daerah semakin meningkat jumlahnya
tiap tahun berjalan.
Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu provinsi dengan area lahan pertanian
yang cukup luas juga mengalami permasalahan tersebut. Kabupaten Sleman dan
Bantul adalah dua wilayah yang mengalami degradasi lahan pertanian dalam jumlah
besar di Provinsi DIY. Pada wilayah Bantul misalnya, lahan yang beralih fungsi
saat ini jumlahnya sebesar 40 hektare dalam setahun. Lahan pertanian menjadi
mayoritas dari area yang beralih fungsi tersebut.[1] Masalah
yang sama justru lebih parah dialami oleh Kabupaten Sleman. Dimana jumlah lahan
pertanian yang beralih fungsi pada tahun 2011 kemarin telah mencapai angka 93
Hektare pada daerah tersebut.[2]
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kedua Kabupaten bersangkutan sudah
mengeluarkan beberapa kebijakan. Pemda Sleman misalnya, telah mengeluarkan peraturan
yang membatasi jumlah alih fungsi lahan pertanian di wilayah tersebut maksimal
sebesar 100 hektare setiap tahunnya.[3]
Sementara itu, di Bantul himbauan kepada masyarakat untuk beralih profesi
akhirnya dikeluarkan oleh Sri Surya Widati, Bupati daerah tersebut, dengan
alasan sebagai upaya mengamankan mata pencaharian rakyat yang telah berkurang.[4]
Himbauan
dan peraturan kedua pemerintah daerah tersebut memang tidak dapat sepenuhnya
ditakan salah maupun benar. Pada satu sisi, himbauan oleh Bupati Bantul dan
pembatasan alih fungsi lahan oleh Pemda Sleman merupakan langkah paling cepat
yang dapat dilakukan oleh kedua daerah tersebut. Namun, seharusnya Pemerintah
Kabupaten Bantul dan Sleman juga memiliki kebijakan dan rencana jangka panjang
untuk menyelamatkan lahan pertanian di wilayah masing-masing. Pembatasan alih
fungsi lahan hanya merupakan kebijakan jangka pendek, karena dengan jumlah
maksimal sebesar 100 hektare, maka terbuka kemungkinan dalam hitungan beberapa
tahun kedepan luas wilayah pertanian yang ada di wilayah Sleman akan habis
secara menyeluruh. Begitu pula dengan himbauan oleh Bupati Bantul, yang
seharusnya mampu menyinergikan segala potensi SDA di wilayahnya. Dengan adanya
himbauan tersebut, maka ada kesan bahwa pembangunan di Bantul dilakukan secara
terpisah-pisah antara lahan perikanan, perumahan, dan pertanian. Padahal, jika
pembangunan dilakukan secara merata maka bukan tidak mungkin pertumbuhan
ekonomi di wilayah Bantul akan semakin tinggi peningkatannya.
Apa
yang terjadi di Bantul dan Sleman dapat menjadi pintu masuk untuk melihat
kondisi sektor pertanian secara nasional. Pembangunan seharusnya dapat
dilakukan secara merata pada setiap sektor yang ada di setiap daerah. Pemetaan
wilayah yang dapat digunakan untuk pertanian dan perumahan harus dilakukan dan
dijaga implementasinya, agar tidak terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan lahan.
Jaminan terhadap para petani juga seharusnya diberikan oleh pemerintah.
Pemerintah dapat berperan dalam hal menjamin ketersediaan pupuk, irigasi dan
jalur distribusi hasil pertanian yang mudah dijangkau oleh para petani. Jika
beberapa hal tersebut dapat dilakukan, maka keberadaan sektor pertanian dalam
pembangunan tidak semata-mata menjadi ‘anak tiri’ lagi.
No comments:
Post a Comment